Untuk kesekian kalinya kita ribut lagi dengan Ujian Nasional. Saya ingin  memberi catatan kecil saja pada polemik yang satu ini. Penerapan ujian  nasional yang batas nilai kelulusannya setiap tahun meningkat boleh jadi  merupakan sesuatu yang baik. Sulit dibayangkan jika seseorang lulus  dengan nilai 5 (awalnya ditetapkan 3). Kalau tidak salah waktu kecil  dulu 5 ke bawah sudah ditulis dengan tinta merah. Walaupun demikian, ada  yang perlu dikomentari dari pelaksanaan UN ini.
Orang boleh bicara  output untuk melihat keberhasilan suatu proses. Tetapi output bukan  merupakan ukuran mutlak. Bahkan menurut hemat saya kuncinya bukan pada  output, tetapi pada proses. Kalau berbicara proses pengendalian dalam  manajemen, pendekatan modern mengatakan pengendalian bukan dilakukan  pada hasil. Kalaupun kita mengukur hasil, ukuran tersebut hanya  digunakan sebagai indikator baik buruknya proses yang terjadi. Yang  lebih penting lagi, proses pengendalian seharusnya dilakukan untuk  memberikan umpan balik kepada sistem agar dapat melakukan koreksi jika  terjadi penyimpangan pada proses. Dengan demikian, tidak tepat jika  langkah pengendalian hanya dilakukan pada akhir proses dimana tidak  dimungkinkan lagi untuk memperbaiki sistem. Dalam kasus UN hal ini akan  menjadi lebih kritis karena hasil yang diukur akan menyebabkan beban  proses pendidikan menjadi bertambah.
Berangkat dari pola pikir yang  memperhatikan proses maka kebijakan UN memang harus didahului kejelasan  terhadap proses pendidikan yang akan diuji lewat UN. Pada saat  mengembangkan suatu sistem, setelah tujuan ditetapkan kita perlu  menentukan proses apa yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut.  Tidak pada tempatnya jika dalam sebuah organisasi atau perusahaan, ada  tujuan tanpa dibekali proses untuk mencapainya. Pada prakteknya memang  hal ini yang lebih banyak terjadi. Bawahan atau pelaksana diberikan  beban yang cukup berat (apalagi tanpa otoritas) untuk memikirkan sendiri  bagaimana cara mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Boleh jadi karena  atasannya sendiri tidak mengetahui cara mencapainya, mungkin karena  tidak mau tahu, atau mental yang selalu ingin terima jadi. Hal semacam  ini sangat berbahaya. Selain karena akan menyebabkan tidak tercapainya  tujuan dengan efektif, juga akan menumbuhsuburkan mental menghalalkan  segala cara. Padahal mental-mental seperti ini yang harus dikikis oleh  proses pendidikan.
Secara ideal, target nilai UN harus disertai  dengan pengembangan proses bisnis yang dipersyaratkan. Sejauh  pengetahuan saya, proses bisnis pendidikan ini yang belum kita miliki,  baik di level SD, SMP bahkan sampai perguruan tinggi. Mungkin itulah  sebabnya mengapa pendidikan di negeri ini memang tidak pernah dapat  disejajarkan dengan pendidikan di negara lain. Bukan rahasia lagi bahwa  rumusan tujuan pendidikan di negara kita sangat baik. Tetapi lihatlah  hasilnya, banyak kecurangan dilakukan (bahkan oleh guru!!!), mental  siswa yang lebih suka berkelahi daripada berkreasi, dan banyak lagi  hal-hal menyimpang lainnya.
Sebagai kesimpulan akhir catatan ini,  pemerintah memiliki tanggung jawab yang besar untuk mengembangkan  standar proses bisnis pendidikan. Teknis pelaksanaan dapat diatur  kemudian. Saya yakin pemerintah tidak akan berdiri sendiri, banyak pihak  yang akan membantu.
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar